Angsa Jenius

"Jika tidak sibuk dengan kebaikan, berarti kita tengah sibuk dalam keburukan, atau minimal kesia-siaan."

Masih Muda Ngapain Ikut Kajian

Thursday, August 27, 2015
Tadi pagi di Path gw nemu gambar yang lumayan menggelitik. “Jangan iri jika seseorang melebihimu dalam urusan dunia, tapi irilah jika seseorang melebihimu dalam urusan akhirat.” Kalimat itu bikin gw berpikir hari ini.

Kalau kalimat itu gw yang ngomong menanggapi seseorang yang (misalnya) lagi kuliah di MIT atau Oxford atau Harvard let’s say; atau seseorang yang kerjanya keliling Indonesia atau keliling dunia, mungkin kalimat itu terkesan pembelaan semata. Pembelaan untuk menenangkan diri sendiri karena gw belum bisa seperti itu. Begitukah?

Belakangan gw lagi banyak ngedownloadin video-video kajian dan ceramah-ceramah karena ada beberapa bidang ilmu yang lagi gw kejar sedangkan membaca buku akan memakan lebih banyak waktu, dan ngedengerin ceramah dari video bisa disambi nyuci baju, nyapu, masak, sarapan atau nyetrika. Hemat energi, lumayan buat mengejar ketertinggalan walaupun membaca tetap punya sensasi sendiri. Trus apa hasilnya? Hasilnya adalah gw sadar banyaakkk yang gw belum tahu. Iya beneran banyak! Hfffff semoga pertanyaan malaikat nanti tentang buat apa masa muda ini gw habiskan ngga gw jawab dengan belepotan.

Kenapa belepotan?

Karena Rahma yang dulu, paling anti sama kajian. Kasih pilihan gw leyeh-leyeh di kosan nonton India atau dateng ke MSU (masjid kampus IT Telkom) buat kajian, mutlak jawaban gw. Nonton India! Padahal nonton film bisa nanti-nanti, sedangkan kajian ngga bisa diulangi.

Karena Rahma yang dulu males kali datang ke masjid. Padahal tempat itu menjanjikan sejuta manfaat. Tempat seadem masjid, senyaman itu, yang ketika kita melangkah mengarahnya maka kaki akan bersaksi, dan tiap langkahnya akan dihitung sebagai kebaikan. Kenapa masih banyak beralasan untuk tidak ke masjid? Padahal di dalamnya, hati yang keras bisa melembut. Diri yang futur, semangat ibadah yang meluntur, bisa menguat. Dan ada benda bernama kotak infaq yang bisa menjadikan pertanyaan malaikat “Untuk apa hartamu kau gunakan?” memiliki sebagian jawaban. Mengapa masih beralasan?

Dulu alibi gw adalah "Ah masih muda, ntar aja ke masjidnya." dan sekarang gw iri liat anak-anak muda yang rajin ke masjid (Gw masih muda juga sih yaa btw). Anak-anak SMA, mahasiswa tingkat awal yang hatinya terikat sama masjid. Rajin dateng kajian, aktif di komunitas atau organisasi yang ngasih banyak manfaat. Semoga kalian terjaga untuk bertahan di jalan itu *senyum* 

Betapaaa dulu parameter sukses di mata gw adalah mereka yang sukses karirnya, berprestasi sekolahnya, bisa liburan ke mana-mana; tapi hidup bukan cuma tentang karir, sekolah dan liburan. Hidup ini ibarat menyeberang jalan kata Umar bin Khattab. Lantas untuk apa banyak berfokus memetik bunga-bunga kecil di sepanjang penyeberangan jalan jika kita tahu ada taman bunga maha luas setelah selesai menyeberang?

Bukan berarti karir, sekolah dan lain-lain ngga penting. Tapi bukan itu aja yang penting. Dulu gw ngga berpikir kalo kaya harta itu juga tujuan, sampe akhirnya mata gw dibuka lewat seseorang yang banyak punya andil dalam berubahnya hidup gw. Siti Halimah. Kata Siti, muslim itu harus kaya, karena makin kaya, makin banyak orang yang bisa kita bantu, makin banyak harta yang bisa dipakai di jalan Allah. makin banyak kita bisa sedekah, makin banyak peluang kita memberi manfaat. Itu pertama kalinya gw sadar “Oh bener juga! Muslim harus kaya!” yang ternyata itu pula yang dilakukan khalifah Abu Bakar, Ustman dan banyak sahabat Rasulullah lain.

***

Gambar diambil dari internet (lupa sumber) dan udah lama ada di gallery

Tulisan ini kalo dibaca dari judul, trus atas ke bawah ternyata agak ngga nyambung antar paragrafnya hahaha. Maafkan, angsajenius sudah lelah baru nyampe ke kosan. Tapi banyak ide yang meluap-luap di kepala minta dituangkan, dengan sisa-sisa tenaga jadinya ala kadarnya begini. Kenapa ngga nunggu besok aja? Karena sesuatu kalo ditunda-tunda ujungnya cuma dua, lupa atau ilang mood sehingga diselesaikan dengan sekenanya.

Daaaaannn.... karena tadi abis BW ke fiscusswannabe, salah satu blog yang rutin gw BWin di awal-awal angsajenius lahir. Tertulis: Salah satu tujuan ngeblog adalah membangun makam di dunia maya. Ngebloglah karena kita ingin punya sesuatu untuk dikenang saat sudah meninggal nanti, karena nisan tidak memberi apa-apa selain nama, tanggal lahir dan tanggal kematian.

Ekspektasi

Wednesday, August 26, 2015
Kosan Aki Agus, 10 hari sebelum janji suci terucap.
Disclaimer: Tulisan ini dibuat sama sekali bukan karena ada ekspektasi gw yang ngga terpenuhi, melainkan hasil dari merenung dan berpikir di saat sepi (aha, you got me! Bagus ya rima kalimatnya hahaha)


Lo tahu apa satu dari banyak hal tersulit selama kita hidup?
Me-manage ekspektasi.

Kita berekspektasi orang lain sesuai apa yang kita ingin, sampai kadang lupa sama kemampuan orang lain tersebut.

Kita berekspektasi diperlakukan kaya di film-film India, nyatanya malah kaya sinetron RCTI.

Kita berekspektasi mendapat lebih, hingga lupa orang yang kita beri beban berat bernama ekspektasi hanya bisa memberi setengahnya.

Lalu kita kecewa dengan kekecewaan yang muncul bukan karena perlakuan orang lain melainkan karena kita gagal mengelola ekspektasi kita sendiri. Bahaya.

By the way yeeeessss I’m getting married in 10 days! Dan dalam proses menjelang hari yang kami perjuangkan ini, gw banyak berpikir, terutama makin deket-deket hari-H. Karena nantinya hidup gw akan berubah total. Eh oke mungkin ngga total karena gw masih bakal tinggal di Bandung, kuliah dan ngekos (ha!) tapi akan ada banyak perubahan, ngga cuma fisik tapi juga batin dan mental. Salah satu hasil berpikir gw adalah tentang ekspektasi ini.

Benar bahwa menjelang pernikahan, setan akan makin gencar menggoda, melecut pertengakaran-pertengkaran sepele supaya muncul rasa ragu. Karena setan tak suka manusia mengikat perjanjian suci dengan Tuhannya. Ekspektasi kita disiram sampai tumbuh menjulang, dengan risiko terhempas jatuh dari ketinggian saat tak terpenuhi.

Katanya, setelah akad nanti, hidup kita akan penuh dengan toleransi-toleransi. Toleransi terhadap kekurangan masing-masing, dan menekan ekspektasi untuk meminimalisasi kekecewaan yang lebih sering tak bersebab, atau bersebab namun tak masuk akal.

Siapa bilang hidup sama seseorang yang tadinya dua individu terpisah bakal gampang, dan siapa bilang hidup sama gw – yang suka rempong ini – bakal  gampang. Tapi sepasang manusia yang telah terikat janji suci dengan Tuhannya, masing-masing memegang kepercayaan penuh satu sama lain. Bahwa sesuatu yang ngga gampang ini akan terus dilalui sama-sama, dengan hati yang terikat. Bukankah dua dayung akan lebih mudah untuk menyeberangi sungai daripada hanya dengan satu dayung?

Salah satu nasihat lawas Bapak yang paling jleb adalah jangan suka berandai-andai dan panjang angan, berandai-andai deket sama setan. Ini ada haditsnya deh seinget gw, silakan cari sendiri gimana haditsnya karena paket Halo gw udah turun speed drastis sejak kuotanya melebihi 2 giga.

Ya, jangan berandai-andai. Jangan membebankan ekspektasi tinggi pada orang lain, karena setinggi apa kita berani berharap, dari ketinggian itu pula kita harus siap jatuh.

#G, The Day is About to Come

Monday, August 24, 2015

Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan karena ketakutannya akan sepi, kata Dee Lestari. Dan pada laki-laki itu, aku menemukan keutuhanku tercermin sempurna.

Halo!

Sudah kodratnya manusia memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Dan Pencipta kita, yang mengatur datangnya siang dan malam dan menetapkan setiap kejadian, tak pernah luput menetapkan jatah rejeki setiap hambaNya. Jatah usia, dan juga menuliskan nama seseorang yang akan bersama kita melengkapi separuh agama. Mengapa hanya separuh? Karena separuhnya lagi digenapi dengan iman dan takwa.

Seperti sejak 24 tahun lalu, tanggal 5 September selalu punya cerita dan warnanya sendiri.

5 september 1991, aku terlahir dengan bobot 3,6 kilo.

Tepat 5 tahun kemudian, 5 September 1996, adik semata wayang terlahir normal dengan bobot 3,8 kilo.

Dan 24 tahun sejak 1991 itu, 5 September ini akan punya kisah sendiri. Telah datang seseorang yang menyatakan kemantapan hatinya, lahir batin, dunia akhirat insyaaAllah; pada Bapak. Laki-laki yang di sela rutinitas kerjanya, tak jarang hingga tengah malam, menyempatkan menempuh tujuh jam perjalanan kereta ekonomi demi bertemu Bapak. Dan kau tahu rasanya naik kereta ekonomi? Kursi yang terlampau tegak akan membuat lehermu kaku dan susah tidur. Berhadap-hadapan dengan orang asing yang kadang mengangkat kaki ke kursimu, atau makan belepotan di depanmu adalah pemandangan biasa. Pada perjalanan siang hari, AC serasa tidak bekerja. Dan perjalanan tujuh jam akan membuat kau berpeluh. Itu yang biasa aku alami setiap ingin mencium tangan Bapak dan Ibuk di Purworejo, dan laki-laki itu mau berpeluh-basah juga rupanya.

Ada masa di mana kami bertekad mengusahakan masa depan bersama walaupun kami sama-sama tidak tahu seperti apa wujud akhirnya. Bukan mudah, karena setiap hal besar selalu butuh usaha dan pengorbanan. Tapi Tuhan kami menjanjikan bersama kesulitan ada kemudahan. Kemudahan ada membersamai kesulitan, bukan hadir setelahnya. Kurang baik apa Pencipta kita?

Dalam dua minggu hidupku akan berubah. Laki-laki itu, yang rela berpeluh dalam kereta ekonomi Bandung – Purworejo akan memiliki otoritas atas hidupku. Dia bukan orang asing. Dia sahabatku sendiri. Tentu saja kami punya banyak kisah sebelumnya, tapi kisah kami ke depannya pastilah akan jauh berbeda.

Terima kasih telah memperjuangkanku dalam waktu yang tidak sebentar. Terima kasih telah percaya bahwa hari itu akan menjadi nyata. Untuk segala upaya kita lakukan, segala doa yang kita panjatkan, segala batas-batas yang kita jaga, segala mimpi di masa depan yang sama-sama masih kita simpan dan belum kita utarakan; semoga Allah memberkahinya, menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bertakwa dan lurus.

Mohon doakan kami agar rencana kami berkah, keluarga kami sakinah mawaddah dan rahmah, dan dengan bersamanya kami, makin dekat hati kami pada Allah, makin banyak manfaat yang bisa kami berikan untuk agama, Indonesia dan semesta.

Salam Pramuka!

Friday, August 14, 2015
Satyaku ku darmakan
Darmaku ku baktikan

Masih lekat rasanya nyayi hymne Pramuka di lapangan SMP N 8 Purworejo, jadi pratama yang memimpin upacara Pramuka, glosor-glosor ngerjain soal bikin peta lapangan, pioneering sampe tangannya merah lecet-lecet saking semangatnya pegang tali, prat-prit tiup peluit buat ngirim sandi morse yang hapalnya udah di luar kepala, lari-lari ala Pramuka dengan tangan nempel di saku rok, ngapalin pengetahuan umum Pramuka demi menang LCT Pramuka di Kwarda Jateng sampe ijin pelajaran, dan dengan bangga akhirnya punya TKK yang bisa ditempel penuh di lengan sampe nambah ke selempang.

Pramuka namanya, cinta kedua gw di SMP.



Foto di atas diambil pas final LCTP di Semarang, yang alhamdulillah dua grup pa-pi sekolah gw jadi juara pertamanya. Back then, gw adalah bocah super tomboy yang tahan panasan sampe gosong bukan kepalang. Gw paling anti sama cewe yang (waktu itu gw sebut manja) males panasan karena takut item, dikit-dikit nyari tempat neduh, dikit-dikit bilang cape, dikit-dikit bilang 'gamau ah kotor'. Walaupun pelajaran olahraga gw ga pernah berprestasi, tapi di Pramuka gw ngga pernah kehilangan semangat totalitas.

Kenapa?
Karena Pramuka ngelatih gw buat suka tantangan fisik dan mental, kerjasama, dan teamwork yang superrrr. Karena Pramuka banyak seneng-senengnya. Glosoran bikin perkiraan jarak itu seneng-seneng, tangan pegel ngasih kode semaphore yang kalimatnya super panjang itu seneng-seneng, berapi-unggun itu itu seneng-seneng, lari-lari diteriakin bikin angkare itu seneng-seneng, jadi petugas pratama itu seneng-seneng. Semuanya seneng-seneng!

Pramuka gw tinggalkan dengan berat, seberat berat badan gw sekarang dikali dua, pas SMA. Cuma jadi peserta aja, ngga boleh ikut aktif di kepengurusan, mengikis kecintaan yang dipupuk sejak SD kelas 5 ini. Sebabnya? Apalagi kalo bukan kebijakan sekolah yang ngga ngijinin anak aksel ga boleh ikut ekskul fyuh.

Dan hari iniiii, 10 tahun sejak piala itu kami berikan pas upacara hari Senin dengan senyum super lebar ke Pak Kepala Sekolah. Selamat Hari Pramuka! Jayalah Pramuka Indonesia dengan mengajarkan generasi muda yang serba ingin instan ini pelajaran berharga untuk bersabar, untuk bekerjasama, untuk mencintai tantangan fisik daripada tantangan game di gadget, untuk menggembleng rasa percaya diri dan pantang menyerah, untuk memupuk kecintaan pada Indonesia. Melalui Pramuka, semuanya mungkin. 

Salam Pramuka! 

Mak! Rejekinya Sempit Amat

Monday, August 10, 2015
Ada masanya manusia sibuk menghitung persamaan matematika, lalu IPK, lalu menghitung gaji, menghitung sisa uang receh di sempilan-sempilan tas dan kantong, menghitung bintang, menghitung umur, juga menghitung hari. Gw ada di fase menghitung hari. Ada apa? Tunggu kabar berikutnya.

Sesibuk apapun kita menghitung, seharusnya itu bukan alasan buat meninggalkan apa yang lo harus kerjakan (baca: ngasih makan angsa jenius a.k.a. ngupdate blog ini).

Tadi ada sahabat yang udah kaya sodara buat gw, curhat. Galau emang masa yang pernah dialamin semua orang ya, sebabnya aja yang beda-beda. Sahabat yang udah kaya sodara gw ini, selanjutnya mari kita sebut dengan SYUKSO (stands for Sahabat yang udah kaya sodara – copy dari atas, paste, beres). Syukso lagi galau karena tempat dia kerja sekarang gajinya kecil banget dibandingin sama temen-temennya. Itu aja kerjaan ini didapet setelah susah payah tes berkali-kali ditolak, rasanya ikhtiar dan ibadah jadi sia-sia, katanya gitu. Awalnya gw heran kok bisa dia ngomong gitu, tapi gw inget kalo pas kesusahan emang pikiran aneh-aneh sering dateng, pas itulah setan seneng. Udah tajahud, udah sedekah, masih aja susah amat rasanya bisa dapet kerjaan yang layak kaya temen-temen, gitu tambahnya. Rejekinya sempit amat, gitu juga dia bercerita.


Dengan mengerahkan seluruh tenaga jempol kanan kiri, gw tanya via whatsapp: Siapa yang ngatur rejeki manusia? Dia jawab Allah. Gw tanya memastikan, “yakin?” dia jawab “yakin”. Krusial banget emang jawaban ini, sepele mungkin ya udah sering didenger di mana-mana, tapi seyakin apa kita kalo rejeki itu Allah yang ngatur, that matters.

Cicak hidupnya menempel di permukaan, di dinding. Ruang geraknya terbatas banget, tapi makannya nyamuk padahal nyamuk bisa terbang dan ruang geraknya jauuuhh lebih luas daripada cicak. Banyak tempat yang bisa dijangkau nyamuk tapi ga bisa dijangkau cicak. Tapi cicak tetep bisa makan to? Karena cicak udah punya jatah rejeki nyamuk sendiri-sendiri, tinggal si cicak mau jemput rejekinya apa engga. Mau leyeh-leyeh aja di sarang apa keluar dan berburu nyamuk, itu bedanya.

Lah yak cicak aja udah ada rejeki sendiri-sendiri, apalagi kita manusia. Jatahnya udah ada sendiri-sendiri, dan wujudnya ga selalu berupa duit. Lo bisa kerja di deket rumah, bisa tiap hari ketemu orang tua yang makin menua, itu rejeki banget. Am I right or am I right? (pake nada temennya Kabir di Yeh Jawaani Hai Deewani). Jadi stop ngebanding-bandingin rejeki kita sama orang lain, apalagi sampe mikir ih dia gampang amat rejekinya ya, gw seret amat. Makin ngebanding-bandingin, makin ngga bersyukur, makin kufur nikmat. Padahal Allah janjinya bakal ngasih rejeki yang lebih dan lebih lagi buat orang-orang yang bersyukur.

Masih ngomongin rejeki.. gw pernah diceritain sama murabbi gw bahwa rejeki itu ada dua macem. Yang pertama, dikasih dengan penuh cinta, yang kedua dikasih dengan cara dilempar. Kalo kita mau dikasih dodol, cara mana yang kita senengin; dikasih sambil disenyumin apa dikasih sambil dilempar ke muka? Gw yakin ga ada yang milih cara kedua. Nah sama, rejeki juga gitu. Rejeki yang berkah dikasih dengan penuh cinta, rejeki yang ngga berkah dikasih dengan cara dilempar ke muka. Apa yang bikin beda? Caranya. Kalo caranya Allah suka, rejeki bakal dikasih dengan cara yang penuh cinta dan jadinya berkah. Apa itu berkah? Berkah adalah sesuatu yang membawa kebaikan terus-menerus, dari satu kebaikan ke kebaikan selanjutnya. Kalo caranya Allah ga suka, ya dilempar lah itu rejeki. Kaya ngasih dodol dua kilo dilempar ke muka, kalo menurut bayangan gw sih pasti sakit. Baru sebatas bayangan sih soalnya belom pernah ngerasain, dan jangan sampe ngerasain deh hiiy.

Selamat mensyukuri rejeki!