Angsa Jenius

"Jika tidak sibuk dengan kebaikan, berarti kita tengah sibuk dalam keburukan, atau minimal kesia-siaan."

IIP: Adab Menuntut Ilmu #NHW1

Sunday, January 29, 2017
Hari terakhir deadline tugas pertama IIP, jam 00.12 and here I am, strangling myself with Shreya Goshal's songs on loop and blogger dashboard on sight. Buat yang bingung bertanya-tanya apaan ini si Rahma judulnya banyak singkatan, baca ini

Long story short, gw merasa sangat sangat standar banget menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Cita-cita dan impian sih melangit, tapi sikap untuk realisasi ngga berbanding lurus. Makanya ketika Puji suka ngepost di Facebooknya tentang IIP, seketika gw.........................buka linknya. Lalu seperti halnya cinta, dari layar turun ke jari, gw search whereabouts IIP, dan akhirnya daftarlah gw di batch 3.

Tujuan IIP bagi gw pribadi adalah untuk upgrade kualitas gw, perempuan, sebagai istri, ibu, dan peran sosialnya. Dan karena itu kami juga diberi banyak ruang untuk berpikir dan merenung. Tapi sebelum masuk ke materi matrikulasi, kami diberi prolog tentang adab menuntut ilmu, dan tentu tugas mingguan yang ngga lepas dari setiap materi. Tugasnya dikasih istilah nice home work, selanjutnya gw akan tulis sebagai NHW.

***

Hal pertama yang harus gw jawab di NHW adalah jurusan yang pengin gw tekuni di universitas kehidupan.

Yes, if that term sounds unfamiliar to you, you're not alone. I feel that too. Istilah universitas kehidupan ngga familiar juga kok di kuping gw, maka ijinkan gw mendeskripsikannya dulu. Setiap manusia punya 24 jam yang sama dengan jatah usia yang berbeda-beda. Setiap detik dari jatah usia kita itu adalah waktu belajar, karena hidup artinya belajar tak berkesudahan. Buat gw yang gampang tergoda hal baru, buat menjawab pertanyaan pertama ini aja sulit rasanya. Sempet terbersit parenting, trus pembelajaran abad 21 sesuai topik tesis yang juga rencananya mau gw jadiin penelitian S3 (mohon jamaah, ucapkan aamiin jamaah), trus bisnis, trus ilmu sabar, dan beberapa bidang yang saking impulsifnya gw bahkan udah lupa terbersit apa lagi. Nah masih dari blognya si Puji, gw menemukan Ikigai Chart.

sumber

Ngga bingung kan lihat gambarnya? :p Tujuan, the reason for which I wake up in the morning. Ikigai didapet dengan mempertimbangkan:
  • Apa hal yang kita sukai
    Ada hasrat alias passion dan misi hidup kita. Kalau hanya mempertimbangkan hasrat dan misi aja, kita mungkin bakal bahagia dan terpuaskan jiwanya tapi kayanya ngga makmur secara materi.
  • Apa yang dunia butuhkan
    Ada misi hidup kita dan keahlian. Memilih sesuatu dengan pertimbangan sesuai misi dan sesuai keahlian yang kita punya bakal terasa sangat menarik, tapi banyak faktor ketidakpastiannya.
  • Kenapa kita bisa dapet duit
    Ada keahlian dan profesi. Mempertimbangkan keduanya mungkin membuat kita nyaman karena secara materi kita puas, tapi ada ruang kosong dalam hati. Tsah.
  • Dalam hal apa kita berbakat
    Ada profesi dan hasrat. Memilih sesuatu cuma karena profesi dan hasrat bakal membuat kita puas secara pribadi, tapi mungkin kadang bakal ngerasa ngga berguna gara-gara terlalu fokus sama kehidupan pribadi.

Trus gimana solusinya? Pertimbangkan semua irisan, maka akan didapat IKIGAI. The reason for which you wake up in the morning.

Anyway ini gw ulas dengan sangat singkat ya, kalo penasaran sama ikigai, silakan cari referensi yang lebih memadai.

Lalu setelah ngobrol juga sama suami, jatuhlah pilihan pada.........MENULIS.

Kenapa gw milih nulis? Alasan kuat apa yang mendasari pilihan gw?

Buat gw, menulis lebih dari sekedar menuangkan curhatan ide, kegelisahan dan pengalaman. Menulis itu....
  • Dakwah. Semenjak menjadi ibu, memang ngga sebebas lajang gw kesana kemari. Gw butuh ijin suami dan mempertimbangkan gimana Afiqa, sebelum gw bisa membuat agenda di luar. Maka ketika kaki tak bisa melangkah jauh, gw percaya jari gw bisa menjangkau tempat-tempat yang bahkan ngga bisa terjangkau kaki.
  • Bisa banget jadi lahan mengalirnya ilmu yang bermanfaat, yang bakal terus ngalir ketika tangan gw udah terlalu renta untuk mengetik, atau mulut udah terlalu lelah untuk bicara; atau ketika gw udah tiada. Makanya sama halnya kaya bicara, tulislah yang baik atau kalau ngga bisa ya diem aja. Daripada bikin orang punya ide berbuat maksiat, yegak?
  • Peran gw sebagai anak, istri, ibu, dan peran sosial nantinya sebagai tenaga pendidik in syaa Allah, bakal punya buanyaakkk hikmah terserak. Gw pengin hikmah dan momen itu abadi lewat tulisan.
  • Sarana Afiqa dan adek-adeknya, sampe ke anak-anak mereka alias cucu-cucu gw, mengenal neneknya. Karena 50 tahun lagi mungkin gw sudah terlalu renta untuk bicara, atau sekedar berkisah gimana kakek mereka dan sahabat deketnya bisa menikah. Lah iya, siapa lagi kalo bukan gw yang jadi si sahabat deket itu.
Apakah gw suka nulis? Yes absolutely I do! Cuma kurang luangin waktu aja belakangan ini mahhhh duh.
Apa yang dunia butuhkan? Tulisan yang membuat orang perpikir positif, di tengah era sosial media di mana orang bisa memaki seenaknya tanpa kuatir kena tonjok tepat di hidungnya.
Bisakah gw dapet duit dari nulis? Oh yes I can.
Apa bakat gw? Ngomong, cerita. Nulis salah satunya.

Gw sepenuhnya menyadari, bahwa gw jauh dari sebutan penulis. Nyatanya, sekarang gw masih di level tukang cerita di angsajenius dan instagram. Nulis belum jadi prioritas, kualitas juga masih jauh dari pujangga, dai/daiyah penulis apalagi novelis. Makanya gw harus belajar. Harus!

Gimana strategi belajar yang bakal gw terapkan?

Gw percaya, berlian indah karena ditempa panas dan proses panjang. Pisau tajam karena terus diasah, bukan dipajang di lemari kaca. Kualitas skill manusia pun sama, ia hanya bisa meningkat jika diasah, ditempa dengan banyak tantangan. Maka strategi utama gw adalah terus menulis. Apalah artinya baca tips menulis 101 tanpa praktik. Kaya blogging aja, ketika gw buka postingan awal-awal angsajenius ada, ohmen.... oh men. Men! Memalukan sekali rasanya. Gaya tulisan dan kontennya ohmen banget. Tapi sengaja ngga gw hapus atau hide sebagai bukti sejarah perubahan gw.

Strategi selanjutnya adalah gw harus banyak-banyak istighfar untuk meluruskan niat. Bukan mencari popularitas atau untuk menuai pujian, melainkan sesuai niatan awal gw menulis. Selipkan Allah (dalam porsi besar) untuk setiap hal yang gw lakukan, gitu nasihat murabbi 2 tahun lalu. Karena manusia dinilai berdasarkan niatnya, dan niat itulah yang bakal dia dapet. Oh betapa ruginya kalo sampe gw salah niat. Huks.

Strategi selanjutnya lagi adalah membaca. The more you want to write, the more you need to read. Perkaya khazanah pengetahuan dengan membaca buku dan tulisan yang beragam. Pengin banget ikut komunitas menulis, semoga nemu yang klik di hati dan di jari. Baydewey gw pernah juga ikut pelatihan kepenulisan, tapi efeknya ngga tahan lama. Ilmunya lumayan banget memang, tapi karena ngga praktik jadi menguap dengan cepat.

Terakhir, terkait adab menuntut ilmu, perubahan apa aja yang harus gw lakukan?

Banyak! Adab terhadap diri sendiri aja banyak banget yang harus gw benahi.
  • Ngga banyak mbatin hal buruk, termasuk ngomongin orang dalam hati.
  • Ngga merasa lebih daripada penulis atau tukang cerita lain.
  • Rutin mengikat ilmu dengan menuliskannya. Rutin. Rutin mak! Di blog, bukan cuma di instagram.
Terus adab lain yang harus gw benahi adalah........
  • Selalu cek dan ricek sebelum meyakini tulisan atau berita. Ngeri yah di jaman sekarang, semua orang bisa nyebarin berita apa pun yang mereka mau. Sebelum share, gw harus memastikan kalo berita itu benar, bermanfaat dan ngga mengundang kebencian. Baydewey gw termasuk jarang share-share sih tapi gw tetap merasa perlu lebih hati-hati.
  • Selalu cantumkan credit atas setiap inspirasi, gambar atau kutipan yang akan gw tulis. Ngga suka diplagiat atau dikutip diem-diem kan? Kalo ngga suka digituin, jangan gituin orang. Biarlah cinta sebelum nikah aja yang diem-diem (loh?)
Panjang ya? Gitu emang perempuan kalo udah mulai ngomong. Buntutnya ke mana-mana.

Semoga ada kebaikan yang bisa dipetik. Bye! :)

Ikut IIP: Rahma Mau Jadi Ibu Pembelajar

Thursday, January 26, 2017

Halo!

Tahun berganti. Kalender baru dipasang, angka enam menjadi tujuh. Tapi seperti memori yang ngga pernah bisa benar-benar sirna, jemari pun masih lekat dengan angka 6, sehingga menulis 2017 masih sering keliru dengan 2016.

I'm not going to make excuses, because the truth is I do have time to write blogposts, but I didn't. Dan di bulan baru tahun baru ini, gw menyadari ada hal yang hilang. Apa? Berat badan? Tentu bukan. Ngga usah gitu sih, semua mamak baru pasti merasakan rejeki lemak sisa kehamilan. Apalagi masa menyusui adalah masa terbaik kedua setelah kehamilan, yang memperbolehkan makan segala.

Semenjak Afiqa lahir, waktu gw lebih banyak di rumah. Main dan ngurusin anak wedok di kala dia melek, dan begadang ngerjain tesis di sisa hari tersebut. Sampe subuh kalo kuat, tidurnya bareng Afiqa di siang harinya. Kalo ngga kuat, jam 2 pagi udah melipir nyari tempat di kasur yang dikuasai Afiqa dan bapaknya. Kalo hati ngga legowo dan ikhlas, mungkin bisa stres gw karena di rumah terus. Apalagi dibandingkan dengan aktivitas sebelum melahirkan, kontras kapten!

Oh jadi begini kisanak, cerita singkatnya adalah setelah nikah gw bolak balik Bogor Bandung, ke Bogor kalo urusan kampus udah kelar. Dan selama di Bandung, gw sangat sangat ngga betah diem di kosan kecuali abis donlot film India baru yang belom ditonton. Bermodal motor beat oranye yang langganan bensin di pom setelah rel kereta api jalan Sunda, ngider lah gw kemana-mana. Sampe hamil 8 bulan masih motoran sendirian, sampe perutnya mentok ama setir. Ampe jaket ngga bisa disleting sehingga harus gw balik punggung jaket gw pake di depan. Ha! Ampe tukang parkirnya kasian liatnya, padahal yang ngejalanin mah biasa aja. Ekstrovert, suka ketemu orang, dan selalu menyerap energi positif dari keramaian. I hate silence.

Trus sekarang setiap hari gw cuma ngobrol sama Afiqa dan teteh yang bantu-bantu di rumah mertua. Dari yang tadinya tiap hari ketemu lingkungan super heterogen. Then I was like........oh I lose something. Gw jadi merasa kurang supel, jadi kaku kalo ngobrol sama orang, jadi susah menjelaskan sesuatu secara ilmiah, jadi........ya begitulah.

Lalu di suatu siang di grup Umahat Peduli Jilbab, ada postingan Institut Ibu Profesional (IIP) yang dibina ibu Septi Peni Wulandari. Ngga tahu beliau siapa? Googling! Dan tanpa pikir panjang, gw memutuskan ikut.

Kita belajar untuk ujian semester. Kita kuliah untuk bekal bekerja. Kita kursus dan sertifikasi keahlian untuk bekal naik jabatan. Kita ikut seminar entrepreneurship untuk memulai bisnis. Tapi kenapa untuk jadi istri dan ibu kita enggan menyisihkan waktu belajar? Padahal mendidik seorang wanita artinya mendidik sebuah generasi. Lalu gimana generasi selanjutnya bisa berkualitas kalo wanita enggan upgrade ilmu?
*self toyor*

Jadi.....sampai jumpa di penugasan IIP! Gw bakal ngepost tugasnya di sini, in syaa Allah.

Jadi Mak, ini intinya apa?

Intinya adalah gw ikut IIP buat upgrade ilmu dan kapasitas diri, biar jadi istri dan ibu yang membuat bapak Ghazali dan anak-anak tersenyum bangga setiap mendengar nama gw disebut. Wuw!